Selasa, 26 Juli 2011

Baik itu Hebat

Saat itu gw lagi ada di restaurant platinum pondok indah mall,,
pas gw lagi nunggu makanan,tiba tiba ada rombongan ibu ibu masuk, dan duduk tepat di samping tempat gw dudukin itu, berisik banget, yaa maklum lah mungkin itu ibu ibu gaul yang lagi arisan.
Beberapa orang ibu terlibat perbincangan serius. Yang diomongin adalah kriteria menantu yang nanti akan mendampingi anak perempuan mereka. Salah satu ibu melontarkan pendapat, sedapat mungkin menantunya harus orang yang kaya, sekaligus baik. Ibu-ibu yang lain setuju.

“Tapi apakah ada calon menantu yang sempurna kaya gitu?”  Seorang Ibu bertanya. “Memang susah , karena biasanya yang  kaya itu banyak perangainya!” Ibu yang lain menimpali. “Kalaupun  ada perbandingannya seribu satu. Dalam seribu mungkin hanya  ada satu yang kaya sekaligus baik,” kata  ibu arisan yang lain.

“Nah kalau harus memilih, mau yang kaya atau yang baik?” Ibu yang terlihat agak vokal nanya ke teman-temannya. Sebagian bilang kalo mereka lebih memilih yang baik. Alasannya, kaya bisa dicari. Tapi kalau sifat manusia sulit berubah. Sebagian lagi milih yang kaya. Alasan ibu-ibu kelompok ini, manusia itu hanya bentuk yang tak bisa diubah. Sementara sifat tergantung manusianya. “Kalau mau berubah ke yang baik pasti bisa!”.

Sekarang masalahnya, berubah jadi baik itu ternyata tak mudah. Jangankan orang biasa, orang yang ilmu agamanya tinggi pun ngga ada jaminan akan tetap baik. Justru kalangan ini banyak yang melakukan hal-hal tercela. Pada akhirnya, para ibu-ibu itu sepakat kalo harus milih, mereka akan milih bukan yang kaya, tapi yang baik.  

Pada kesempatan lain,saat gw nonton salah satu acara tv di rumah (bareng bokap gw tentunya),, sejumlah aktivis lagi ngomongin kriteria pemimpin.

“Pemimpin itu mestinya orang yang mapan, dan baik,” kata salah seorang aktivis. Mapan di sini maksud dia mencakup mapan materi, intelektual, dan pengalaman. Sementara baik, kata dia, mencakup moralitas seperti  jujur, adil, dan bersih.

“Apakah ada orang seperti itu?” aktivis lain meragukan. “Ada, tapi perbandingannya seribu satu. Dalam seribu hanya ada  satu,” jawab aktivis lainnya. “Nah, bila harus milih, mau yang  mapan atau yang baik?” “Yang baik saja!” Hampir semua aktivis peserta diskusi menjawab.

Balik lagi,
Diskusi ibu-ibu mencari menantu dan aktivis mencari pemimpin tadi, memang cuma rekaan belaka. Tapi sebetulnya, kondisi seperti itulah yang lagi berlaku dalam kehidupan kita sekarang. Kita sering dihadapkan pada pilihan-pilihan sulit. Seperti buah simalakama, tak dimakan ibu mati, kalau dimakan bapak mati. Yang baik yang mana, ibu atau bapak? Siapa yang  harus mati? *bingung dan ngga mau.

Sering banget kita dibuat bingung, dan seperti ngga percaya.  Orang-orang “pintar” yang dulu kita pilih buat jadi  pemimpin, harus  menghuni penjara. Orang yang “berprestasi” itu, kini menjadi tersangka.  Mereka yang dulunya begitu jaya, kini ngga lebih dari orang yang tercela.

Makanya, ngga salah juga sekarang orang yang bersikap baik aja, sudah dapat dikatakan "hebat". Bahkan, untuk beberapa hal, bisa disebut "hebat sekali".
Prestasi, inovasi, dan kepintaran, kadang ngga ada arti apa apa ketika harus dihadapkan pada budi pekerti. makanya kita ngga perlu heran, kalo ada orang yang menurut kita biasa-biasa aja, tapi karena ”dinilai” baik dia bisa jadi menteri. Padahal bangsa ini sangat butuh keduanya: orang pintar berprestasi dan yang baik. Masih ada?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar