BAB 11
HAK
KEKAYAAN INTELEKTUAL
- A.
PENGERTIAN HAK ATAS KEKAYAAN INTELEKTUAL (HAKI)
Hak
Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) atau Hak Milik Intelektual (HMI) atau harta
intelek (di Malaysia) ini merupakan padanan dari bahasa Inggris Intellectual
Property Right. Kata “intelektual” tercermin bahwa obyek kekayaan intelektual
tersebut adalah kecerdasan, daya pikir, atau produk pemikiran manusia (the
Creations of the Human Mind) (WIPO, 1988:3).
Hak
Kekayaan Intelektual (HAKI) adalah hak eksklusif Yang diberikan suatu peraturan
kepada seseorang atau sekelompok orang atas karya ciptanya. Secara sederhana
HAKI mencakup Hak Cipta, Hak Paten Dan Hak Merk. Namun jika dilihat lebih rinci
HAKI merupakan bagian dari benda (Saidin : 1995), yaitu benda tidak berwujud
(benda imateriil).
Hak
Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) termasuk dalam bagian hak atas benda tak
berwujud (seperti Paten, merek, Dan hak cipta). Hak Atas Kekayaan Intelektual
sifatnya berwujud, berupa informasi, ilmu pengetahuan, teknologi, seni, sastra,
keterampilan dan sebagainya yang tidak mempunyai bentuk tertentu.
- B.
PRINSIP – PRINSIP HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL
Prinsip
– prinsip Hak Kekayaan Intelektual :
- Prinsip Ekonomi.
Prinsip
ekonomi, yakni hak intelektual berasal dari kegiatan kreatif suatu kemauan daya
pikir manusia yang diekspresikan dalam berbagai bentuk yang akan memeberikan
keuntungan kepada pemilik yang bersangkutan.
- Prinsip Keadilan.
Prinsip
keadilan, yakni di dalam menciptakan sebuah karya atau orang yang bekerja
membuahkan suatu hasil dari kemampuan intelektual dalam ilmu pengetahuan, seni,
dan sastra yang akan mendapat perlindungan dalam pemiliknya.
- Prinsip Kebudayaan.
Prinsip
kebudayaan, yakni perkembangan ilmu pengetahuan, sastra, dan seni untuk
meningkatkan kehidupan manusia
- Prinsip Sosial.
Prinsip
sosial ( mengatur kepentingan manusia sebagai warga Negara ), artinya hak yang
diakui oleh hukum dan telah diberikan kepada individu merupakan satu kesatuan
sehingga perlindungan diberikan bedasarkan keseimbangan kepentingan individu
dan masyarakat.
- C.
KLASIFIKASI HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL
Berdasarkan
WIPO hak atas kekayaan intelaktual dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu hak
cipta ( copyright ) , dan hak kekayaan industri (industrial property right).
Hak
kekayaan industry ( industrial property right ) adalah hak yang mengatur segala
sesuatu tentang milik perindustrian, terutama yang mengatur perlindungan hukum.
Hak
kekayaan industry ( industrial property right ) berdasarkan pasal 1 Konvensi
Paris mengenai perlindungan Hak Kekayaan Industri Tahun 1883 yang telah di
amandemen pada tanggal 2 Oktober 1979, meliputi
- Paten
- Merek
- Varietas tanaman
- Rahasia dagang
- Desain industry
- Desain tata letak sirkuit
terpadu
- D.
DASAR HUKUM HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL
- UU Nomor 19 Tahun 2002 tentang
Hak Cipta
- UU Nomor 6 Tahun 1982 tentang
Hak Cipta (Lembaran Negara RI Tahun 1982 Nomor 15)
- UU Nomor 7 Tahun 1987 tentang
Perubahan atas UU Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta (Lembaran Negara RI
Tahun 1987 Nomor 42)
- UU Nomor 12 Tahun 1997 tentang
Perubahan atas UU Nomor 6 Tahun 1982 sebagaimana telah diubah dengan UU
Nomor 7 Tahun 1987 (Lembaran Negara RI Tahun 1997 Nomor 29)
- E.
HAK CIPTA
PENGERTIAN
Hak
Cipta adalah hak khusus bagi pencipta untuk mengumumkan atau memperbanyak
ciptaannya. Termasuk ciptaan yang dilindungi adalah ciptaan dalam bidang ilmu
pengetahuan, sastra dan seni.
Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta :
Hak
Cipta adalah hak eksklusif bagi Pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan
atau memperbanyak Ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak
mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku.(Pasal 1 ayat 1)
Hak
cipta diberikan terhadap ciptaan dalam ruang lingkup bidang ilmu pengetahuan,
kesenian, dan kesusasteraan. Hak cipta hanya diberikan secara eksklusif kepada
pencipta, yaitu “seorang atau beberapa orang secara bersama-sama yang atas
inspirasinya lahir suatu ciptaan berdasarkan pikiran, imajinasi, kecekatan,
keterampilan atau keahlian yang dituangkan dalam bentuk yang khas dan bersifat
pribadi”.
Dasar
Hukum HAK CIPTA :
- UU Nomor 19 Tahun 2002 tentang
Hak Cipta
- UU Nomor 6 Tahun 1982 tentang
Hak Cipta (Lembaran Negara RI Tahun 1982 Nomor 15)
- UU Nomor 7 Tahun 1987 tentang
Perubahan atas UU Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta (Lembaran Negara RI
Tahun 1987 Nomor 42)
- UU Nomor 12 Tahun 1997 tentang
Perubahan atas UU Nomor 6 Tahun 1982 sebagaimana telah diubah dengan UU
Nomor 7 Tahun 1987 (Lembaran Negara RI Tahun 1997 Nomor 29)
- F.
HAK PATEN
PENGERTIAN
Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001:
- Paten adalah hak eksklusif yang
diberikan oleh Negara kepada Inventor atas hasil invensinya di bidang
teknologi, yang untuk selama waktu tertentu melaksanakan sendiri invensinya
tersebut atau memberikan persetujuannya kepada pihak lain untuk
melaksanakannya (Pasal 1 Ayat 1).
- Hak khusus yang diberikan
negara kepada penemu atas hasil penemuannya di bidang teknologi, untuk
selama waktu tertentu melaksanakan sendiri penemuannya tersebut atau
memberikan persetujuan kepada orang lain untuk melaksanakannya (Pasal 1
Undang-undang Paten).
- Paten diberikan dalam ruang
lingkup bidang teknologi, yaitu ilmu pengetahuan yang diterapkan dalam
proses industri. Di samping paten, dikenal pula paten sederhana (utility
models) yang hampir sama dengan paten, tetapi memiliki syarat-syarat
perlindungan yang lebih sederhana. Paten dan paten sederhana di Indonesia
diatur dalam Undang-Undang Paten (UUP).
- Paten hanya diberikan negara
kepada penemu yang telah menemukan suatu penemuan (baru) di bidang
teknologi. Yang dimaksud dengan penemuan adalah kegiatan pemecahan
masalah tertentu di bidang teknologi yang berupa :
- proses;
- hasil produksi;
- penyempurnaan dan pengembangan
proses;
- penyempurnaan dan pengembangan
hasil produksi
Dasar
Hukum HAK PATEN :
- UU Nomor 6 Tahun 1989 tentang
Paten (Lembaran Negara RI Tahun 1989 Nomor 39)
- UU Nomor 13 Tahun 1997 tentang
Perubahan UU Nomor 6 Tahun 1989 tentang Paten (Lembaran Negara RI Tahun
1997 Nomor 30)
- UU Nomor 14 Tahun 2001 tentang
Paten (Lembaran Negara RI Tahun 2001 Nomor 109)
- G.
HAK MERK
PENGERTIAN
Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 :
Merek
adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf- huruf, angka- angka,
susunan warna, atau kombinasi dari unsur- unsur tersebut yang memiliki daya
pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa. (Pasal 1
Ayat 1)
Merek
merupakan tanda yang digunakan untuk membedakan produk (barang dan atau jasa)
tertentu dengan yang lainnya dalam rangka memperlancar perdagangan, menjaga
kualitas, dan melindungi produsen dan konsumen.
Merek
adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan
warna atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan
digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa (Pasal 1 Undang-undang
Merek).
Istilah
– Istilah Merk :
- Merek dagang adalah merek yang digunakan pada barang yang
diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau
badan hukum untuk membedakan dengan barang-barang sejenis lainnya.
- Merek jasa yaitu merek yang digunakan pada jasa yang
diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau
badan hukum untuk membedakan dengan jasa-jasa sejenis lainnya.
- Merek kolektif adalah merek yang digunakan pada barang atau jasa
dengan karakteristik yang sama yang diperdagangkan oleh beberapa orang
atau badan hukum secara bersama-sama untuk membedakan dengan barang atau
jasa sejenis lainnya.
- Hak atas merek adalah hak khusus yang diberikan negara kepada pemilik
merek yang terdaftar dalam Daftar Umum Merek untuk jangka waktu tertentu,
menggunakan sendiri merek tersebut atau memberi izin kepada seseorang atau
beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk menggunakannya.
Dasar
Hukum HAK MERK :
- UU Nomor 19 Tahun 1992 tentang
Merek (Lembaran Negara RI Tahun 1992 Nomor 81)
- UU Nomor 14 Tahun 1997 tentang
Perubahan UU Nomor 19 Tahun 1992 tentang Merek (Lembaran Negara RI Tahun
1997 Nomor 31)
- UU Nomor 15 Tahun 2001 tentang
Merek (Lembaran Negara RI Tahun 2001 Nomor 110)
- H.
DESAIN INDUSTRI
PENGERTIAN
Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 Tentang Desain Industri :
Desain
Industri adalah suatu kreasi tentang bentuk, konfigurasi, atau komposisi garis
atau warna, atau garis dan warna, atau gabungan daripadanya yang berbentuk tiga
dimensi atau dua dimensi yang memberikan kesan estetis dan dapat diwujudkan
dalam pola tiga dimensi atau dua dimensi serta dapat dipakai untuk menghasilkan
suatu produk, barang, komoditas industri, atau kerajinan tangan. (Pasal 1 Ayat
1)
- I.
RAHASIA DAGANG
Menurut
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2000 Tentang Rahasia Dagang :
Rahasia
Dagang adalah informasi yang tidak diketahui oleh umum di bidang teknologi
dan/atau bisnis, mempunyai nilai ekonomi karena berguna dalam kegiatan usaha,
dan dijaga kerahasiaannya oleh pemilik Rahasia Dagang.
Bab 12
Pengertian Konsumen
Konsumen adalah setiap orang pemakai barang
dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri
sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk
diperdagangkan
Konsumsi, dari bahasa Belanda consumptie,
ialah suatu kegiatan yang bertujuan mengurangi atau menghabiskan daya guna
suatu benda, baik berupa barang maupun jasa, untuk memenuhi kebutuhan dan
kepuasan secara langsung. Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan atau
jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri,
keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.
Jika tujuan pembelian produk tersebut untuk dijual kembali (Jawa: kulakan),
maka dia disebut pengecer atau distributor. Pada masa sekarang ini bukan suatu
rahasia lagi bahwa sebenarnya konsumen adalah raja sebenarnya, oleh karena itu
produsen yang memiliki prinsip holistic marketing sudah seharusnya
memperhatikan semua yang menjadi hak-hak konsumen
Asas
dan Tujuan Perlindungan Konsumen
Upaya
perlindungan konsumen di tanah air didasarkan pada sejumlah asas dan tujuan
yang telah diyakini bias memberikan arahan dalam implementasinya di tingkatan
praktis. Dengan adanya asas dan tujuan yang jelas, hukum perlindungan konsumen
memiliki dasar pijakan yang benar-benar kuat.
Asas
perlindungan konsumen .
Berdasarkan
UU Perlindungan Konsumen pasal 2, ada lima asas perlindungan
konsumen.
•Asas
manfaat
Maksud
asas ini adalah untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan
perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingankonsumen
dan pelau usaha secara keseluruhan.
•Asas
keadilan
Asas
ini dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat bias diwujudkan secara maksimal
dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh
haknyadan melaksanakan kewajibannya secara adil.
•Asas
keseimbangan
Asas
ini dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen,
pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti material maupun spiritual. d.Asas
keamanan dan keselamatan konsumen.
•Asas
keamanan dan keselamatan konsumen
Asas
ini dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada
konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang/jasa yang
dikonsumsi atau digunakan.
•Asas
kepastian hukum
Asas
ini dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun konsumen menaati hokum dan
memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta Negara
menjamin kepastian hukum.
Tujuan
perlindungan konsumen
Dalam
UU Perlindungan Konsumen Pasal 3, disebutkan bahwa tujuan perlindungan konsumen
adalah sebagai berikut.
•
Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi
diri.
•
mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses
negatif pemakaian barang dan/atau jasa.
•
Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, dan menuntut hak- haknya
sebagai konsumen.
•
Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum
dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi.
•
Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen
sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha.
•
Meningkatkan kualitas barang/jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi
barang dan jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.
Hak
dan Kewajiban Konsumen
Hak
Konsumen adalah :
-Hak
atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau
jasa
-Hak
untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa
tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan
-Hak
atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang
dan/atau jasa
-Hak
untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan
-Hak
untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa
perlindungan konsumen secara patut
-Hak
untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen
-Hak
untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif
-Hak
untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila
barang/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak
sebagaimana mestinya
-Hak-hak
yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya’
Kewajiban
konsumen adalah :
-membaca
atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan
barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan
-beritikad
baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa
-membayar
dengan nilai tukar yang disepakati
-mengikuti
upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut
Hak
dan Kewajiban Pelaku Usaha
Hak
pelaku usaha adalah :
-hak
untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan
nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
-hak
untuk mendapatkan perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikat
tidak baik;
-hak
untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaiakan hukum
sengketa konsumen;
-hak
untuk rehabilitasi nama baik apbila terbukti secara hukum bahwa kerugian
konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
-hak-hak
yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Kewajiban
pelaku usaha adalah :
-beritikad
baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
-memberikan
informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang
dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;
-memperlakukan
atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
-menjamin
mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan
ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;
-memberi
kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa
tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat
dan/atau yang diperdagangkan;
-memberi
kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan,
pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
-memberi
kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang
diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
Perbuatan
Yang Dilarang Bagi Pelaku Usaha
Ketentuan
mengenai perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha diatur dalam Pasal 8 – 17 UU
PK. Ketentuan-etentuan ini kemudian dapat dibagi kedalam 3 kelompok, yakni:
-larangan
bagi pelaku usaha dalam kegiatan produksi (Pasal 8 )
-larangan
bagi pelaku usaha dalam kegiatan pemasaran (Pasal 9 – 16)
-larangan
bagi pelaku usaha periklanan (Pasal 17)
Mari
kita bahas satu per satu. Yang pertama ialah larangan bagi pelaku usaha dalam
kegiatan produksi. Ada 10 larangan bagi pelaku usaha sesuai dengan
ketentuan Pasal 8 ayat (1) UU PK, yakni pelaku usaha dilarang memproduksi
dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang:
-tidak
memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan
perundang-undangan;
-tidak
sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalam hitungan
sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut;
-tidak
sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut
ukuran yang sebenarnya;
-tidak
sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana
dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;
-tidak
sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode,
atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan
barang dan/atau jasa tersebut;
-tidak
sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau
promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut;
-tidak
mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu penggunaan/pemanfaatan yang
paling baik atas barang tertentu;
-tidak
mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan “halal”
yang dicantumkan dalam label;
-tidak
memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran,
berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat
sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan
yang menurut ketentuan harus di pasang/dibuat;
-tidak
mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa
Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Tiap
bidang usaha diatur oleh ketentuan tersendiri. Misalnya kegiatan usaha di
bidang makanan dan minuman tunduk pada UU No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan. Tak
jarang pula, tiap daerah memiliki pengaturan yang lebih spesifik yang diatur
melalui Peraturan Daerah. Selain tunduk pada ketentuan yang berlaku, pelaku
usaha juga wajib memiliki itikad baik dalam berusaha. Segala janji-janji yang
disampaikan kepada konsumen, baik melalui label, etiket maupun iklan harus
dipenuhi.
Selain
itu, ayat (2) dan (3) juga memberikan larangan sebagai berikut:
(2)
Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas, dan
tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang
dimaksud.
(3)
Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusak,
cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa memberikan informasi secara
lengkap dan benar.
UU
PK tidak memberikan keterangan yang jelas mengenai apa itu rusak, cacat,
bekas dan tercemar. Bila kita membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia,
istilah-istilah tersebut diartikan sebagai berikut:
Rusak:
sudah tidak sempurna (baik, utuh) lagi.
Cacat:
kekurangan yang menyebabkan nilai atau mutunya kurang baik atau kurang
sempurna.
Bekas:
sudah pernah dipakai.
Tercemar:
menjadi cemar (rusak, tidak baik lagi)
Ternyata
cukup sulit untuk membedakan rusak, cacat dan tercemar. Menurut saya rusak
berarti benda tersebut sudah tidak dapat digunakan lagi. Cacat berarti benda
tersebut masih dapat digunakan, namun fungsinya sudah berkurang. Sedangkan
tercemar berarti pada awalnya benda tersebut baik dan utuh. Namun ada sesuatu
diluar benda tersebut yang bersatu dengan benda itu sehingga fungsinya
berkurang atau tidak berfungsi lagi.
Tanggung
Jawab Pelaku Usaha
Hukum
tentang tanggung jawab produk ini termasuk dalam perbuatan melanggar hukum
tetapi diimbuhi dengan tanggung jawab mutlak (strict liability), tanpa melihat
apakah ada unsur kesalahan pada pihak pelaku. Dalam kondisi demikian terlihat
bahwa adagium caveat emptor (konsumen bertanggung jawab telah ditinggalkan) dan
kini berlaku caveat venditor (pelaku usaha bertanggung jawab).
Istilah
Product Liability (Tanggung Jawab Produk) baru dikenal sekitar 60 tahun yang
lalu dalam dunia perasuransian di Amerika Serikat, sehubungan dengan dimulainya
produksi bahan makanan secara besar-besaran. Baik kalangan produsen (Producer
and manufacture) maupun penjual (seller, distributor) mengasuransikan
barang-barangnya terhadap kemungkinan adanya resiko akibat produk-produk yang
cacat atau menimbulkan kerugian tehadap konsumen.
Produk
secara umum diartikan sebagai barang yang secara nyata dapat dilihat, dipegang
(tangible goods), baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak. Namun dalam
kaitan dengan masalah tanggung jawab produser (Product Liability) produk bukan
hanya berupa tangible goods tapi juga termasuk yang bersifat intangible seperti
listrik, produk alami (mis. Makanan binatang piaraan dengan jenis binatang
lain), tulisan (mis. Peta penerbangan yang diproduksi secara masal), atau
perlengkapan tetap pada rumah real estate (mis. Rumah). Selanjutnya, termasuk
dalam pengertian produk tersebut tidak semata-mata suatu produk yang sudah jadi
secara keseluruhan, tapi juga termasuk komponen suku cadang.
Tanggung
jawab produk (product liability), menurut Hursh bahwa product liability is the
liability of manufacturer, processor or non-manufacturing seller for injury to
the person or property of a buyer third party, caused by product which has been
sold. Perkins Coie juga menyatakan Product Liability: The liability of the
manufacturer or others in the chain of distribution of a product to a person
injured by the use of product
Dengan
demikian, yang dimaksud dengan product liability adalah suatu tanggung jawab
secara hukum dari orang atau badan yang menghasilkan suatu produk (producer, manufacture)
atau dari orang atau badan yang bergerak dalam suatu proses untuk menghasilkan
suatu produk (processor, assembler) atau orang atau badan yang menjual atau
mendistribusikan produk tersebut.
Bahkan
dilihat dari konvensi tentang product liability di atas, berlakunya konvensi
tersebut diperluas terhadap orang/badan yang terlibat dalam rangkaian komersial
tentang persiapan atau penyebaran dari produk, termasuk para pengusaha, bengkel
dan pergudangan. Demikian juga dengan para agen dan pekerja dari badan-badan
usaha di atas. Tanggung jawab tersebut sehubungan dengan produk yang cacat
sehingga menyebabkan atau turut menyebabkan kerugian bagi pihak lain
(konsumen), baik kerugian badaniah, kematian maupun harta benda.
Sanksi
Pelaku Usaha
Sanksi
Bagi Pelaku Usaha Menurut Undang-undang No. 8 Tahun 1999
tentang
Perlindungan Konsumen
Sanksi
Perdata :
•Ganti
rugi dalam bentuk :
-Pengembalian
uang atau
-Penggantian
barang atau
-Perawatan
kesehatan, dan/atau
-Pemberian
santunan
•Ganti
rugi diberikan dalam tenggang waktu 7 hari setelah tanggal transaksi
Sanksi
Administrasi :
maksimal
Rp. 200.000.000 (dua ratus juta rupiah), melalui BPSK jika melanggar Pasal 19
ayat (2) dan (3), 20, 25
Sanksi
Pidana :
•Kurungan
:
Penjara,
5 tahun, atau denda Rp. 2.000.000.000 (dua milyar -rupiah) (Pasal 8, 9, 10, 13
ayat (2), 15, 17 ayat (1) huruf a, b,c, dan e dan Pasal 18
-Penjara,
2 tahun, atau denda Rp.500.000.000 (lima ratus juta rupiah) (Pasal 11, 12,
13 ayat (1), 14, 16 dan 17 ayat (1)huruf d dan f
•Ketentuan
pidana lain (di luar Undang-undang No. 8 Tahun. 1999 tentang Perlindungan
Konsumen) jika konsumen luka berat, sakit berat, cacat tetap atau
kematian
•Hukuman
tambahan , antara lain :
-Pengumuman
keputusan Hakim
-Pencabuttan
izin usaha;
-Dilarang
memperdagangkan barang dan jasa ;
-Wajib
menarik dari peredaran barang dan jasa;
-Hasil
Pengawasan disebarluaskan kepada masyarakat .
Bab 13
Anti Monopoli dan Persaingan Usaha
Tidak Sehat
Pengertian Anti
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
Ada beberapa pengertian
monopoli yang diartikan beberapa
Kalangan; Black’s Law
Dictionary mengartikan monopoli sebagai “a peveilege or peculiar advantage
vested in one or more persons or companies, consisting in the exclusive right (
or power ) to carry on a particular article, or control yhe sale of whole
supply of a particular commodity ” . (Henry Champbell Black,1990 : 696)
Secara etimologi, kata
“monopoli” berasal dari kata Yunani ‘Monos’ yang berarti sendiri dan ‘Polein’
yang berarti penjual. Dari akar kata tersebut secara sederhana orang lantas
memberi pengertian monoopli sebagai suatu kondisi dimana hanya ada satu penjual
yang menawarkan (supply) suatu barang atau jasa tertentu. (Arie Siswanto:2002)
Disamping istilah monopoli di
USA sering digunakan kata “antitrust” untuk pengertian yang sepadan dengan
istilah “anti monopoli” atau istilah “dominasi” yang dipakai masyarakat Eropa
yang artinya juga sepadan dengan arti istlah “monopoli” Disamping itu terdapat
istilah yang artinya hampir sama yaitu “kekuatan pasar”. Dalam praktek keempat
kata tersebut, yaitu istilah “monopoli”, “antitrust”, “kekuatan pasar” dan
istilah “dominasi” saling dipertukarkan pemakaiannya. Keempat istilah tersebut
dipergunakan untuk menunjukkan suatu keadaan dimana seseorang menguasai pasar
,dimana dipasar tersebut tidak tersedia lagi produk subtitusi yang potensial,
dan terdapatnya kemampuan pelaku pasar tersebut untuk menerapkan harga produk
tersebut yang lebih tinggi, tanpa mengikuti hukum persaingan pasar atau hukum
tentang permintaan dan penawaran pasar.
Undang-Undang Anti Monopoli
No 5 Tahun 1999 memberi arti kepada monopolis sebagai suatu penguasaan atas
produksi dan atau pemasaran barang dan atau atas penggunaan jasa tertentu oleh
satu pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha (pasal 1 ayat (1) Undang-undagn
Anti Monopoli ). Sementara yang dimaksud dengan “praktek monopoli” adalah suatu
pemusatan kekuatan ekonomi oleh salah satu atau lebih pelaku yang mengakibatkan
dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa tertentu
sehingga menimbulkan suatu persaingan usaha secara tidak sehat dan dapat
merugikan kepentingan umum. Sesuai dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Anti
Monopoli .
Selain itu, Undang-Undang
Anti monopoli juga memberikan arti kepada “persaingan usaha tidak sehat”
sebagai suatu persaingan antar pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi
dan atau pemasaran barang atau jasa yang dilakukan dengan cara-cara yang tidak
jujur atau dengan cara melawan hukum atau menghambat persaingan usaha.
Dengan demikian Undang-undang
Anti Monopoli No 5 tahun 1999 dalam memberikan arti kepada posisi dominan atau
perbuatan anti persaingan lainnya mencakup baik kompetisi yang interbrand,
maupun kompetisi yang intraband. Yang dimaksud dengan kompetisi yang interbrand
adalah kompetisi diantara produsen produk yang generiknya sama. Dilarang
misalnya jika satu perusahaan menguasai 100 persen pasar televisi, atau yang
disebut dengan istilah “monopoli”. Sedangkan yang dimaksud dengan kompetisi
yang intraband adalah kompetisi diantar distributor atas produk dari produsen
tertentu. (Munir Fuady 2003: 6)
Disamping itu, ada juga yang
mengartikan kepada tindakan monopoli sebagai suatu keistimewaan atau keuntungan
khusus yang diberikan kepada seseorang atau beberapa orang atau perusahaan,
yang merupakan hak atau kekuasaan yang eksklusif untuk menjalankan bisnis atau
mengontrol penjualan terhadap seluruh suplai barang tertentu .
Dalam hukum Inggris kuno,
monopoli diartikan sebagai suatu izin atau keistimewaan yang dibenarkan oleh
raja untuk membeli, menjual, membuat. Mengerjakan atau menggunakan apapun
secara keseluruhan, dimana tindakan monopoli tersebut secara umum dapat
mengekang kebebasan berproduksi atau trading. Atau monopoli dirumuskan juga
sebagai suatu tindakan yang memiliki atau mengontrol bagian besar dari suplai
di pasar atau output dari komoditi tertentu yang dapat mengekang kompetisi,
membatasi kebebasan perdagangan, yang memberikan kepada pemonopoli kekuasaan
pengontrolan terhadap harga.
Ada lagi yang mengartikan
kepada tindakan monopoli (yang umum )sebagai suatu hak atau kekuasaan hanya
untuk melakukan suatu kegiatan atau aktivitas yang khusus, seperti membuat
suatu produk tertentu, memberikan suatu jasa, dan sebagainya. Atau, suatu
monopoli (dalam dunia usaha) diartikan sebagi pemilikan atau pengendalian
persediaan atau pasaran untuk suatu produk atau jasa yang cukup banyak untuk
mematahkan atau memusnahkan persaingan, untuk mengendalikan harga, atau dengan
cara lain untuk membatasi perdagangan
Struktur monopoli sering pula
dibedakan atas monopoli alamiah dan non alamiah. Monopoli alamiah antara lain
dalam memproduksi air minum, gas, listrik dan lainnya sedangkan monopoli non
alamiah yang merupakan monopoli berasal dari struktur oligopoli yang kolusif
sehingga mendapatkan tempat yang kurang baik , akan tetapi bukan berarti yang
alamih juga dapat melepaskan diri dari citra yang kurang baik di pihak lain.
(Nurimansyah Hasibuan .1993)
Praktek-praktek monopoli di
Indonesia sering tidak mendapatkan tempat perhatian dalam dunia penelitian.
Namun demikian, oleh karena fasilitas-fasilitas tertentu dari pemerintah, maka
kehadiran monopolis dapat memperkuat transfer pendapatan dari yang relatif
lemah ke kelompok yang relatif lebih kuat, maka kehadiran monopolis dapat
memperkuat transfer pendapatan akan tetapi walaupun monopolis mendapatkan
keuntungan yang super normal namun kurang diimbangi dengan pembayaran pajak
yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat luas.(Nurimansyah Hasibuan .1993)
Azas & Tujuan Anti Monopoli dan Persaingan Usaha
a. Asas
Pelaku usaha di Indonesia dalam menjalankan kegiatan usahanya berasaskan
demokrasi ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pelaku
usaha dan kepentingan umum.
b. Tujuan
Undang-Undang (UU) persaingan usaha adalah Undang-undang No. 5 Tahun 1999
tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU
No.5/1999) yang bertujuan untuk memelihara pasar kompetitif dari pengaruh
kesepakatan dan konspirasi yang cenderung mengurangi dan atau menghilangkan
persaingan. Kepedulian utama dari UU persaingan usaha adalah promoting
competition dan memperkuat kedaulatan konsumen.
Kegiatan dan Perjanjian yang Dilarang dalam Anti Monopoli
a. Kegiatan yang Dilarang
Bagian Pertama Monopoli
Pasal 17
(1) Pelaku usaha dilarang melakukan penguasaan atas produksi dan atau pemasaran
barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan
atau persaingan usaha tidak sehat.
(2) Pelaku usaha patut diduga atau dianggap melakukan penguasaan atas produksi
dan atau pemasaran barang dan atau jasa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
apabila:
a. barang dan atau jasa yang bersangkutan belum ada substitusinya; atau
b. mengakibatkan pelaku usaha lain tidak dapat masuk ke dalam persaingan usaha
barang dan atau jasa yang sama; atau
c. satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50%
(lima puluh persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.
Bagian KeduaMonopsoni
Pasal 18
(1) Pelaku usaha dilarang menguasai penerimaan pasokan atau menjadi pembeli
tunggal atas barang dan atau jasa dalam pasar bersangkutan yang dapat
mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak
sehat.
(2) Pelaku usaha patut diduga atau dianggap menguasai penerimaan pasokan atau
menjadi pembeli tunggal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) apabila satu pelaku
usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% (lima puluh
persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.
Bagian KetigaPenguasaan Pasar
Pasal 19
Pelaku usaha dilarang melakukan satu atau beberapa kegiatan, baik sendiri
maupun bersama pelaku usaha lain, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli
dan atau persaingan usaha tidak sehat berupa:
a. menolak dan atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan
usaha yang sama pada pasar bersangkutan;
b. atau mematikan usaha pesaingnya di pasar bersangkutan sehingga dapat
mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak
sehat.
Pasal 21
Pelaku usaha dilarang melakukan kecurangan dalam menetapkan biaya produksi dan
biaya lainnya yang menjadi bagian dari komponen harga barang dan atau jasa yang
dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.
Bagian KeempatPersekongkolan
Pasal 22
Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mengatur dan atau
menentukan pemenang tender sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan
usaha tidak sehat.
Pasal 23
Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mendapatkan
informasi kegiatan usaha pesaingnya yang diklasifikasikan sebagai rahasia
perusahaan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak
sehat.
Pasal 24
Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk menghambat produksi
dan atau pemasaran barang dan atau jasa pelaku usaha pesaingnya dengan maksud
agar barang dan atau jasa yang ditawarkan atau dipasok di pasar bersangkutan
menjadi berkurang baik dari jumlah, kualitas, maupun ketepatan waktu yang
dipersyaratkan.
b. Perjanjian yang dilarang
oleh BAB III Undang-undang Anti Monopoli adalah sebagai berikut :
1. Perjanjian –perjanjian
tertentu yang berdampak tidak baik untuk persaingan pasar yang terdiri dari :
a) Oligopoli;
b) Penetapan harga;
c) Pembagian Wilayah;
d) Pemboikotan;
e) Kartel;
f) Trust;
g) Integrasi vertical;
h) Perjanjian tertutup;
i) Perjanjian dengan pihak
luar negeri.
Hal-Hal yang Dikecualikan dalam UU Anti Monopoli
Pasal 50
Yang dikecualikan dari ketentuan undang-undang ini adalah:
a. perbuatan dan atau perjanjian yang bertujuan melaksanakan peraturan
perundang-undangan yang berlaku; atau
b. perjanjian yang berkaitan dengan hak atas kekayaan intelektual seperti
lisensi, paten, merek dagang, hak cipta, desain produk industri, rangkaian
elektronik terpadu, dan rahasia dagang, serta perjanjian yang berkaitan dengan
waralaba; atau
c. perjanjian penetapan standar teknis produk barang dan atau jasa yang tidak
mengekang dan atau menghalangi persaingan; atau
d. perjanjian dalam rangka keagenan yang isinya tidak memuat ketentuan untuk
memasok kembali barang dan atau jasa dengan harga yang lebih rendah daripada
harga yang telah diperjanjikan; atau
e. perjanjian kerja sama penelitian untuk peningkatan atau perbaikan standar
hidup masyarakat luas; atau
f. perjanjian internasional yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Republik
Indonesia; atau
g. perjanjian dan atau perbuatan yang bertujuan untuk ekspor yang tidak
mengganggu kebutuhan dan atau pasokan pasar dalam negeri; atau
h. pelaku usaha yang tergolong dalam usaha kecil; atau
i. kegiatan usaha koperasi yang secara khusus bertujuan untuk melayani
anggotanya.
Pasal 51
Monopoli dan atau pemusatan kegiatan yang berkaitan dengan produksi dan atau
pemasaran barang dan atau jasa yang menguasai hajat hidup orang banyak serta
cabang-cabang produksi yang penting bagi negara diatur dengan undang-undang dan
diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara dan atau badan atau lembaga yang
dibentuk atau ditunjuk oleh Pemerintah.
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU)
Bagian PertamaStatus
Pasal 30
(1) Untuk mengawasi pelaksanaan Undang-undang ini dibentuk Komisi Pengawas
Persaingan Usaha yang selanjutnya disebut Komisi.
(2) Komisi adalah suatu lembaga independen yang terlepas dari pengaruh dan
kekuasaan Pemerintah serta pihak lain.
(3) Komisi bertanggung jawab kepada Presiden.
Bagian KeduaKeanggotaan
Pasal 31
(1) Komisi terdiri atas seorang Ketua merangkap anggota, seorang Wakil Ketua
merangkap anggota, dan sekurang-kurangnya 7 (tujuh) orang anggota.
(2) Anggota Komisi diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas persetujuan
Dewan Perwakilan Rakyat.
(3) Masa jabatan anggota Komisi adalah 5 (lima) tahun dan dapat diangkat
kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya.
(4) Apabila karena berakhirnya masa jabatan akan terjadi kekosongan dalam
keanggotaan Komisi, maka masa jabatan anggota dapat diperpanjang sampai
pengangkatan anggota baru.
Pasal 32
Persyaratan keanggotaan Komisi adalah:
1. warga negara Republik Indonesia, berusia sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh)
tahun dan setinggi-tingginya 60 (enam puluh) tahun pada saat pengangkatan;
2. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
3. beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
4. jujur, adil, dan berkelakuan baik;
5. bertempat tinggal di wilayah negara Republik Indonesia;
6. berpengalaman dalam bidang usaha atau mempunyai pengetahuan dan keahlian di
bidang hukum dan atau ekonomi;
7. tidak pernah dipidana;
8. tidak pernah dinyatakan pailit oleh pengadilan; dan
9. tidak terafiliasi dengan suatu badan usaha.
Psaal 33
Keanggotaan Komisi berhenti, karena :
a. meninggal dunia;
b. mengundurkan diri atas permintaan sendiri;
c. bertempat tinggal di luar wilayah negara Republik Indonesia;
d. sakit jasmani atau rohani terus menerus;
e. berakhirnya masa jabatan keanggotaan Komisi; atau
f. diberhentikan.
Pasal 34
(1) Pembentukan Komisi serta susunan organisasi, tugas, dan fungsinya
ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
(2) Untuk kelancaran pelaksanaan tugas, Komisi dibantu oleh sekretariat.
(3) Komisi dapat membentuk kelompok kerja.
(4) Ketentuan mengenai susunan organisasi, tugas, dan fungsi sekretariat dan
kelompok kerja diatur lebih lanjut dengan keputusan Komisi.
Bagian KetigaTugas
Pasal 35
Tugas Komisi meliputi:
a. melakukan penilaian terhadap perjanjian yang dapat mengakibatkan terjadinya
praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diatur dalam
Pasal 4 sampai dengan Pasal 16;
b. melakukan penilaian terhadap kegiatan usaha dan atau tindakan pelaku usaha
yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha
tidak sehat sebagaimana diatur dalam Pasal 17 sampai dengan Pasal 24;
c. melakukan penilaian terhadap ada atau tidak adanya penyalahgunaan posisi
dominan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau
persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diatur dalam Pasal 25 sampai dengan
Pasal 28;
d. mengambil tindakan sesuai dengan wewenang Komisi sebagaimana diatur dalam
Pasal 36;
e. memberikan saran dan pertimbangan terhadap kebijakan Pemerintah yang
berkaitan dengan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat;
f. menyusun pedoman dan atau publikasi yang berkaitan dengan Undang-undang ini;
g. memberikan laporan secara berkala atas hasil kerja Komisi kepada Presiden
dan Dewan Perwakilan Rakyat.
Bagian KeempatWewenang
Pasal 36
Wewenang Komisi meliputi:
1. menerima laporan dari masyarakat dan atau dari pelaku usaha tentang dugaan
terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat;
2. melakukan penelitian tentang dugaan adanya kegiatan usaha dan atau tindakan
pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau
persaingan usaha tidak sehat;
3. melakukan penyelidikan dan atau pemeriksaan terhadap kasus dugaan praktek
monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang dilaporkan oleh masyarakat
atau oleh pelaku usaha atau menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli, atau
setiap orang sebagaimana dimaksud huruf e dan huruf f, yang tidak bersedia
memenuhi panggilan Komisi;
4. meminta keterangan dari instansi Pemerintah dalam kaitannya dengan
penyelidikan dan atau pemeriksaan terhadap pelaku usaha yang melanggar
ketentuan undang-undang ini;
5. mendapatkan, meneliti, dan atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain
guna penyelidikan dan atau pemeriksaan;
6. memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak pelaku
usaha lain atau masyarakat;
7. memberitahukan putusan Komisi kepada pelaku usaha yang diduga melakukan
praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat;
8. menjatuhkan sanksi berupa tindakan administratif kepada pelaku usaha yang
melanggar ketentuan Undang-undang ini.
Bagian KelimaPembiayaan
Pasal 37
Biaya untuk pelaksanaan tugas Komisi dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara dan atau sumber-sumber lain yang diperbolehkan oleh peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Sanksi Anti Monopoli
Bagian PertamaTindakan Administratif
Pasal 47
(1) Komisi berwenang menjatuhkan sanksi berupa tindakan administratif terhadap
pelaku usaha yang melanggar ketentuan Undang-undang ini.
(2) Tindakan administratif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat berupa:
a. penetapan pembatalan perjanjian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 sampai
dengan Pasal 13, Pasal 15, dan Pasal 16; dan atau
b. perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan integrasi vertikal
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14; dan atau
c. perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan kegiatan yang terbukti
menimbulkan praktek monopoli dan atau menyebabkan persaingan usaha tidak sehat
dan atau merugikan masyarakat; dan atau
d. perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan penyalahgunaan posisi
dominan; dan atau
e. penetapan pembatalan atas penggabungan atau peleburan badan usaha dan
pengambilalihan saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28; dan atau
f. penetapan pembayaran ganti rugi; dan atau
g. pengenaan denda serendah-rendahnya Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)
dan setinggi-tingginya Rp 25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah).
Bagian KeduaPidana Pokok
Pasal 48
(1) Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 4, Pasal 9 sampai dengan Pasal 14,
Pasal 16 sampai dengan Pasal 19, Pasal 25, Pasal 27, dan Pasal 28 diancam
pidana denda serendah-rendahnya Rp 25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar
rupiah) dan setinggi-tingginya Rp 100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah),
atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 6 (enam) bulan.
(2) Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 5 sampai dengan Pasal 8, Pasal 15,
Pasal 20 sampai dengan Pasal 24, dan Pasal 26 Undang-undang ini diancam pidana
denda serendah-rendahnya Rp 5.000.000.000,00 ( lima miliar rupiah) dan
setinggi-tingginya Rp 25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah), atau
pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 5 (lima) bulan.
(3) Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 41 Undang-undang ini diancam pidana
denda serendah-rendahnya Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan
setinggi-tingginya Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah), atau pidana
kurungan pengganti denda selama-lamanya 3 (tiga) bulan.
Bagian KetigaPidana Tambahan
Pasal 49
Dengan menunjuk ketentuan Pasal 10 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, terhadap
pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 48 dapat dijatuhkan pidana tambahan
berupa:
a. pencabutan izin usaha; atau
b. larangan kepada pelaku usaha yang telah terbukti melakukan pelanggaran
terhadap undang-undang ini untuk menduduki jabatan direksi atau komisaris
sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan selama-lamanya 5 (lima) tahun; atau
c. penghentian kegiatan atau tindakan tertentu yang menyebabkan timbulnya
kerugian pada pihak lain.
Pengertian Sengketa
Pengertian Sengketa
Pengertian sengketa dalam kamus Bahasa Indonesia, berarti pertentangan atau
konflik, Konflik berarti adanya oposisi atau pertentangan antara orang-orang,
kelompok-kelompok, atau organisasi-organisasi terhadap satu objek permasalahan.
Senada dengan itu Winardi mengemukakan :
Pertentangan atau konflik yang terjadi antara individu-individu atau
kelompok-kelompok yang mempunyai hubungan atau kepentingan yang sama atas suatu
objek kepemilikan, yang menimbulkan akibat hukum antara satu dengan yang lain.
Sedangkan menurut Ali Achmad
berpendapat :
Sengketa adalah pertentangan antara dua pihak atau lebih yang berawal dari
persepsi yang berbeda tentang suatu kepentingan atau hak milik yang dapat
menimbulkan akibat hukum bagi keduanya.
Dari kedua pendapat diatas
maka dapat dikatakan bahwa sengketa adalah prilaku pertentangan antara dua
orang atau lebih yang dapat menimbulkan suatu akibat hukum dan karenanya dapat
diberi sangsi hukum bagi salah satu diantara keduanya
Cara-Cara Penyelesaian
Sengketa Ekonomi
Seiring dengan perkembangan yang terjadi, muncul kemudian beberapa perjanjian
internasional, baik secara khusus mengatur maupun memuat beberapa tentang
penyelesaian sengketa. Perjanjian-perjanjian tersebut dibuat oleh
negara-negara, baik secara multilateral ataupun melalui lembaga
intergovernmental, diantaranya :
1. The Convention for the
Pacific Covenant of the League of Nations 1919
2. The Statute of the Permanent Court of International Justice 1921
3. The General Treaty for the Renunciation of War 1928
4. The General Act for the Pacific Settlement of International Disputes 1928
5. Piagam PBB dan Statuta Mahkamah Internasional 1945
6. Deklarasi Bandung 1955
7. The Manila Declaration on Peaceful Settlement of Disputes between States
1982.
Kelahiran League of Nations
(LBB) yang menjadi lembaga intergovernmental pasca terjadinya Perang Dunia I
(PD I), tidak mampu mencegah terjadinya penyelesaian sengketa dengan kekerasan
antar negara. Karena LBB terbukti tidak dapat melakukan tindakan preventif
untuk mencegah terjadinya Perang Dunia II (PD II). Dari kondisi seperti itulah,
negara-negara yang terlibat dalam PD II kemudian membentuk United Nations (PBB)
sebagai pengganti dari LBB. Kelahiran PBB diharapkan dapat mencegah terjadinya
hal serupa PD I dan II.
Dalam praktek hubungan antar
negara pada saat ini, PBB telah menjadi organisasi intergovernmental yang
besar. Dengan keanggotaan sebanyak itu, UN Charter (Piagam) telah dijadikan
sebagai rujukan utama oleh banyak negara untuk menyelesaikan sengketa dengan
damai. Pencantuman penyelesaian sengketa secara damai di dalam Piagam, memang
mutlak diperlukan. Selain karena PBB bertujuan untuk menjaga kedamaian dan
keamanan internasional, negara-negara anggota PBB membutuhkan panduan dalam
melaksanakan tujuan PBB tersebut.
II. Penyelesaian Sengketa
dalam Piagam PBB
Tujuan dibentuknya PBB, yaitu menjaga kedamaian dan keamanan internasional
tercantum di dalam pasal 1 Piagam, yang berbunyi :
“To maintain international
peace and security, and to that end: to take effective collective measures for
the prevention and removal of threats to the peace, and for the suppression of
acts of aggression or other breaches of the peace, and to bring about by
peaceful means, and in conformity with the principles of justice and
international law, adjustment or settlement of international disputes or
situations which might lead to a breach of the peace”
Kedamaian dan keamanan
internasional hanya dapat diwujudkan apabila tidak ada kekerasan yang digunakan
dalam menyelesaikan sengketa, yang ditegaskan dalam pasal 2 ayat (4) Piagam.
Penyelesaian sengketa secara damai ini, kemudian dijelaskan lebih lanjut dalam
pasal 33 Piagam yang mencantumkan beberapa cara damai dalam menyelesaikan
sengketa, diantaranya :
a. Negosiasi;
b. Enquiry atau penyelidikan;
c. Mediasi;
d. Konsiliasi
e. Arbitrase
f. Judicial Settlement atau Pengadilan;
g. Organisasi-organisasi atau Badan-badan Regional.
Dari tujuh penyelesaian
sengketa yang tercantum dalam Piagam, dapat dikelompokkan menjadi dua bagian,
yaitu penyelesaian sengketa secara hukum dan secara politik/diplomatik. Yang
termasuk ke dalam penyelesaian sengketa secara hukum adalah arbitrase dan
judicial settlement. Sedangkan yang termasuk ke dalam penyelesaian sengketa
secara diplomatik adalah negosiasi; enquiry; mediasi; dan konsiliasi. Hukum
internasional publik juga mengenal good offices atau jasa-jasa baik yang
termasuk ke dalam penyelesaian sengketa secara diplomatik.
Pada dasarnya, tidak ada tata
urutan yang mutlak mengenai penyelesaian sengketa secara damai. Para pihak
dalam sengketa internasional dapat saja menyelesaikan sengketa yang terjadi di
antara mereka ke badan peradilan internasional seperti International Court of
Justice (ICJ/Mahkamah Internasional), tanpa harus melalui mekanisme negosiasi,
mediasi, ataupun cara diplomatik lainnya. PBB tidak memaksakan prosedur apapun
kepada negara anggotanya. Dengan kebebasan dalam memilih prosedur penyelesaian
sengketa, negara-negara biasanya memilih untuk memberikan prioritas pada
prosedur penyelesaian secara politik/diplomatik, daripada mekanisme arbitrase
atau badan peradilan tertentu, karena penyelesaian secara politik/diplomatik
akan lebih melindungi kedaulatan mereka.
III. Penyelesaian Sengketa
secara Diplomatik
Seperti yang telah dijelaskan di atas, yang termasuk ke dalam penyelesaian
sengketa secara diplomatik adalah negosiasi; enquiry atau penyelidikan;
mediasi; konsiliasi; dan good offices atau jasa-jasa baik. Kelima metode
tersebut memiliki ciri khas, kelebihan, dan kekurangan masing-masing.
a) Negosiasi
Negosiasi merupakan cara penyelesaian sengketa secara damai yang cukup lama
dipakai. Sampai pada permulaan abad ke-20, negosiasi menjadi satu-satunya cara
yang dipakai dalam penyelesaian sengketa. Sampai saat ini cara penyelesaian
melalui negosiasi biasanya adalah cara yang pertama kali ditempuh oleh para
pihak yang bersengketa. Penyelesaian sengketa ini dilakukan secara langsung
oleh para pihak yang bersengketa melalui dialog tanpa ada keikutsertaan dari
pihak ketiga. Dalam pelaksanaannya, negosiasi memiliki dua bentuk utama, yaitu
bilateral dan multilateral. Negosiasi dapat dilangsungkan melalui saluran
diplomatik pada konferensi internasional atau dalam suatu lembaga atau
organisasi internasional.
Dalam praktek negosiasi, ada
dua bentuk prosedur yang dibedakan. Yang pertama adalah negosiasi ketika
sengketa belum muncul, lebih dikenal dengan konsultasi. Dan yang kedua adalah
negosiasi ketika sengketa telah lahir.
Keuntungan yang diperoleh
ketika negara yang bersengketa menggunakan mekanisme negosiasi, antara lain :
(1) Para pihak memiliki
kebebasan untuk menentukan penyelesaian sesuai dengan kesepakatan diantara
mereka
(2) Para pihak mengawasi dan memantau secara langsung prosedur penyelesaiannya
(3) Dapat menghindari perhatian publik dan tekanan politik dalam negeri.
(4) Para pihak mencari penyelesaian yang bersifat win-win solution, sehingga
dapat diterima dan memuaskan kedua belah pihak
b) Enquiry atau Penyelidikan
J.G.Merrills menyatakan bahwa salah satu penyebab munculnya sengketa antar
negara adalah karena adanya ketidaksepakatan para pihak mengenai fakta. Untuk
menyelesaikan sengketa ini, akan bergantung pada penguraian fakta-fakta para
pihak yang tidak disepakati. Untuk menyelesaikan sengketa tersebut, para pihak
kemudian membentuk sebuah badan yang bertugas untuk menyelidiki fakta-fakta
yang terjadi di lapangan. Fakta-fakta yang ditemukan ini kemudian dilaporakan
kepada para pihak, sehingga para pihak dapat menyelesaikan sengketa diantara
mereka.
Dalam beberapa kasus, badan
yang bertugas untuk menyelidiki fakta-fakta dalam sengketa internasional dibuat
oleh PBB. Namun dalam konteks ini, enquiry yang dimaksud adalah sebuah badan
yang dibentuk oleh negara yang bersengketa. Enquiry telah dikenal sebagai salah
satu cara untuk menyelesaikan sengketa internasional semenjak lahirnya The
Hague Convention pada tahun 1899, yang kemudian diteruskan pada tahun 1907.
c) Mediasi
Ketika negara-negara yang menjadi para pihak dalam suatu sengketa internasional
tidak dapat menemukan pemecahan masalahnya melalui negosiasi, intervensi yang
dilakukan oleh pihak ketiga adalah sebuah cara yang mungkin untuk keluar dari
jalan buntu perundingan yang telah terjadi dan memberikan solusi yang dapat
diterima oleh kedua belah pihak. Pihak ketiga yang melaksanakan mediasi ini
tentu saja harus bersifat netral dan independen. Sehingga dapat memberikan
saran yang tidak memihak salah satu negara pihak sengketa.
Intervensi yang dilakukan
oleh pihak ketiga ini dapat dilakukan dalam beberapa bentuk. Misalnya, pihak
ketiga memberikan saran kepada kedua belah pihak untuk melakukan negosiasi
ulang, atau bisa saja pihak ketiga hanya menyediakan jalur komunikasi tambahan.
Dalam menjalankan tugasnya,
mediator tidak terikat pada suatu hukum acara tertentu dan tidak dibatasi pada
hukum yang ada. Mediator dapat menggunakan asas ex aequo et bono untuk
menyelesaikan sengketa yang ada.
Pelaksanaan mediasi dalam
penyelesaian sengketa internasional diatur dalam beberapa perjanjian
internasional, antara lain The Hague Convention 1907; UN Charter; The European
Convention for the Peaceful Settlement of Disputes.
d) Konsiliasi
Sama seperti mediasi, penyelesaian sengketa melalui cara konsiliasi menggunakan
intervensi pihak ketiga. Pihak ketiga yang melakukan intervensi ini biasanya
adalah negara, namun bisa juga sebuah komisi yang dibentuk oleh para pihak.
Komisi konsiliasi yang dibentuk oleh para pihak dapat saja terlembaga atau
bersifat ad hoc, yang kemudian memberikan persyaratan penyelesaian yang diterima
oleh para pihak. Namun keputusan yang diberikan oleh komisi konsiliasi ini
tidak mengikat para pihak.
Pada prakteknya, proses
penyelesaian sengketa melalui konsiliasi mempunyai kemiripan dengan mediasi.
Pembedaan yang dapat diketahui dari kedua cara ini adalah konsiliasi memiliki
hukum acara yang lebih formal jika dibandingkan dengan mediasi. Karena dalam
konsiliasi ada beberapa tahap yang biasanya harus dilalui, yaitu penyerahan
sengketa kepada komisi konsiliasi, kemudian komisi akan mendengarkan keterangan
lisan para pihak, dan berdasarkan fakta-fakta yang diberikan oleh para pihak
secara lisan tersebut komisi konsiliasi akan menyerahkan laporan kepada para
pihak disertai dengan kesimpulan dan usulan penyelesaian sengketa.
e) Good Offices atau
Jasa-jasa Baik
Jasa-jasa baik adalah cara penyelesaian sengketa melalui bantuan pihak ketiga.
Pihak ketiga berupaya agar para pihak yang bersengketa menyelesaikan
sengketanya dengan negosiasi. Menurut pendapat Bindschedler, yang dikutip oleh
Huala Adolf, jasa baik dapat didefinisikan sebagai berikut: the involvement of
one or more States or an international organization in a dispute between states
with the aim of settling it or contributing to its settlement.
Pada pelaksanaan di lapangan,
jasa baik dapat dibedakan dalam dua bentuk, yaitu jasa baik teknis (technical
good offices), dan jasa baik politis (political good offices). Jasa baik teknis
adalah jasa baik oleh negara atau organisasi internasional dengan cara
mengundang para pihak yang bersengketa ikut serta dalam konferensi atau
menyelenggarakan konferensi. Tujuan dari jasa baik teknis ini adalah
mengembalikan atau memelihara hubungan atau kontak langsung di antara para
pihak yang bersengketa setelah hubungan diplomatik mereka terputus. Sedangkan
jasa baik politis adalah jasa baik yang dilakukan oleh negara atau organisasi
internasional yang berupaya menciptakan suatu perdamaian atau menghentikan
suatu peperangan yang diikuti dengan diadakannya negosiasi atau suatu
kompetensi.
IV. Penyelesaian Sengketa
Secara Hukum
Penyelesaian sengketa melalui jalur hukum atau judicial settlement juga dapat
menjadi pilihan bagi subyek hukum internasional yang bersengketa satu sama
lain. Bagi sebagian pihak, bersengketa melalui jalur hukum seringkali
menimbulkan kesulitan, baik dalam urusan birokrasi maupun besarnya biaya yang
dikeluarkan. Namun yang menjadi keuntungan penyelesaian sengketa jalur hukum
adalah kekuatan hukum yang mengikat antara masing-masing pihak yang
bersengketa.
a) Arbitrase
Hukum internasional telah mengenal arbitrase sebagai alternatif penyelesaian
sengketa, dan cara ini telah diterima oleh umum sebagai cara penyelesaian
sengketa yang efektif dan adil. Para pihak yang ingin bersengketa dengan
menggunakan metode arbitrase dapat menggunakan badan arbitrase yang telah
terlembaga, atau badan arbitrase ad hoc. Meskipun dianggap sebagai penyelesaian
sengketa internaisonal melalu jalur hukum, keputusan yang dihasilkan oleh badan
arbitrase tidak dapat sepenuhnya dijamin akan mengikat masing-masing pihak,
meskipun sifat putusan arbitrase pada prinsipnya adalah final dan mengikat.
Pada saat ini, terdapat
sebuah badan arbitrase internasional yang terlembaga, yaitu Permanent Court of
Arbitration (PCA). Dalam menjalankan tugasnya sebagai jalur penyelesaian
sengketa, PCA menggunakan UNCITRAL Arbitration Rules 1976.
b) Pengadilan Internasional
Selain arbitrase, lembaga lain yang dapat ditempuh untuk menyelesaikan sengketa
internasional melalui jalur hukum adalah pengadilan internasional. Pada saat
ini ada beberapa pengadilan internasional dan pengadilan internasional regional
yang hadir untuk menyelesaikan berbagai macam sengketa internasional. Misalnya
International Court of Justice (ICJ), International Criminal Court,
International Tribunal on the Law of the Sea, European Court for Human Rights,
dan lainnya.
Kehadiran pengadilan
internasional sesungguhnya telah dikenal sejak eksisnya Liga Bangsa-Bangsa,
yaitu melalui Permanent Court of International Justice (PCIJ). Namun seiring
dengan bubarnya LBB pasca Perang Dunia II, maka tugas dari PCIJ diteruskan oleh
ICJ sejalan dengan peralihan dari LBB kepada PBB.
Penyelesaian sengketa
internasional melalui jalur hukum berarti adanya pengurangan kedaulatan
terhadap pihak-pihak yang bersengketa. Karena tidak ada lagi keleluasaan yang
dimiliki oleh para pihak, misalnya seperti memilih hakim, memilih hukum dan
hukum acara yang digunakan. Tetapi dengan bersengketa di pengadilan
internasional, maka para pihak akan mendapatkan putusan yang mengikat
masing-masing pihak yang bersengketa.
Negosiasi
Negosiasi merupakan cara penyelesaian sengketa secara damai yang cukup lama
dipakai. Sampai pada permulaan abad ke-20, negosiasi menjadi satu-satunya cara
yang dipakai dalam penyelesaian sengketa. Sampai saat ini cara penyelesaian
melalui negosiasi biasanya adalah cara yang pertama kali ditempuh oleh para
pihak yang bersengketa. Penyelesaian sengketa ini dilakukan secara langsung
oleh para pihak yang bersengketa melalui dialog tanpa ada keikutsertaan dari
pihak ketiga. Dalam pelaksanaannya, negosiasi memiliki dua bentuk utama, yaitu
bilateral dan multilateral. Negosiasi dapat dilangsungkan melalui saluran
diplomatik pada konferensi internasional atau dalam suatu lembaga atau
organisasi internasional.
Dalam praktek negosiasi, ada
dua bentuk prosedur yang dibedakan. Yang pertama adalah negosiasi ketika
sengketa belum muncul, lebih dikenal dengan konsultasi. Dan yang kedua adalah
negosiasi ketika sengketa telah lahir.
Keuntungan yang diperoleh
ketika negara yang bersengketa menggunakan mekanisme negosiasi, antara lain :
(1) Para pihak memiliki kebebasan untuk menentukan penyelesaian sesuai dengan
kesepakatan diantara mereka
(2) Para pihak mengawasi dan memantau secara langsung prosedur penyelesaiannya
(3) Dapat menghindari perhatian publik dan tekanan politik dalam negeri.
(4) Para pihak mencari penyelesaian yang bersifat win-win solution, sehingga
dapat diterima dan memuaskan kedua belah pihak
Mediasi
Ketika negara-negara yang menjadi para pihak dalam suatu sengketa internasional
tidak dapat menemukan pemecahan masalahnya melalui negosiasi, intervensi yang
dilakukan oleh pihak ketiga adalah sebuah cara yang mungkin untuk keluar dari
jalan buntu perundingan yang telah terjadi dan memberikan solusi yang dapat
diterima oleh kedua belah pihak. Pihak ketiga yang melaksanakan mediasi ini
tentu saja harus bersifat netral dan independen. Sehingga dapat memberikan
saran yang tidak memihak salah satu negara pihak sengketa.
Intervensi yang dilakukan
oleh pihak ketiga ini dapat dilakukan dalam beberapa bentuk. Misalnya, pihak ketiga
memberikan saran kepada kedua belah pihak untuk melakukan negosiasi ulang, atau
bisa saja pihak ketiga hanya menyediakan jalur komunikasi tambahan.
Dalam menjalankan tugasnya,
mediator tidak terikat pada suatu hukum acara tertentu dan tidak dibatasi pada
hukum yang ada. Mediator dapat menggunakan asas ex aequo et bono untuk
menyelesaikan sengketa yang ada.
Pelaksanaan mediasi dalam
penyelesaian sengketa internasional diatur dalam beberapa perjanjian
internasional, antara lain The Hague Convention 1907; UN Charter; The European
Convention for the Peaceful Settlement of Disputes.
Arbitrase
Hukum internasional telah mengenal arbitrase sebagai alternatif penyelesaian
sengketa, dan cara ini telah diterima oleh umum sebagai cara penyelesaian
sengketa yang efektif dan adil. Para pihak yang ingin bersengketa dengan
menggunakan metode arbitrase dapat menggunakan badan arbitrase yang telah
terlembaga, atau badan arbitrase ad hoc. Meskipun dianggap sebagai penyelesaian
sengketa internaisonal melalu jalur hukum, keputusan yang dihasilkan oleh badan
arbitrase tidak dapat sepenuhnya dijamin akan mengikat masing-masing pihak,
meskipun sifat putusan arbitrase pada prinsipnya adalah final dan mengikat.
Pada saat ini, terdapat
sebuah badan arbitrase internasional yang terlembaga, yaitu Permanent Court of
Arbitration (PCA). Dalam menjalankan tugasnya sebagai jalur penyelesaian
sengketa, PCA menggunakan UNCITRAL Arbitration Rules 1976.
Perbandingan antara Perundingan, Arbitrase dan Ligitasi
a. Negosiasi atau perundingan
Negosiasi adalah cara penyelesaian sengketa dimana para pihak yang bersengketa
saling melakukan kompromi untuk menyuarakan kepentingannya. Dengan cara
kompromi tersebut diharapkan akan tercipta win-win solution dan akan mengakhiri
sengketa tersebut secara baik.
b. Litigasi adalah sistem
penyelesaian sengketa melalui lembaga peradilan. Sengketa yang terjadi dan
diperiksa melalui jalur litigasi akan diperiksa dan diputus oleh hakim. Melalui
sistem ini tidak mungkin akan dicapai sebuah win-win solution (solusi yang
memperhatikan kedua belah pihak) karena hakim harus menjatuhkan putusan dimana
salah satu pihak akan menjadi pihak yang menang dan pihak lain menjadi pihak
yang kalah. Kebaikan dari sistem ini adalah:
1. Ruang lingkup pemeriksaannya yang lebih luas (karena sistem peradilan di
Indonesia terbagi menjadi beberapa bagian yaitu peradilan umum, peradilan
agama, peradilan militer dan peradilan Tata Usaha Negara sehingga hampir semua
jenis sengketa dapat diperiksa melalui jalur ini)
2. Biaya yang relatif lebih murah (Salah satu azas peradilan Indonesia adalah
Sederhana, Cepat dan Murah)
Sedangkan kelemahan dari sistem ini adalah:
1. Kurangnya kepastian hukum (karena terdapat hierarki pengadilan di Indonesia
yaitu Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung dimana jika
Pengadilan Negeri memberikan putusan yang tidak memuaskan salah satu pihak,
pihak tersebut dapat melakukan upaya hukum banding ke Pengadilan Tinggi atau
kasasi ke Mahkamah Agung sehingga butuh waktu yang relatif lama agar bisa
berkekuatan hukum tetap)
2. Hakim yang “awam” (pada dasarnya hakim harus paham terhadap semua jenis
hukum. namun jika sengketa yang terjadi terjadi pada bidang yang tidak dikuasai
oleh hakim, maka hakim tersebut harus belajar lagi. Hal ini dikarenakan para
pihak tidak bisa memilih hakim yang akan memeriksa perkara. Tentunya hal ini
akan mempersulit penyusunan putusan yang adil sesuai dengan bidang sengketa.
Hakim juga tidak boleh menolak untuk memeriksa suatu perkara karena hukumnya
tidak ada atau tidak jelas. Jadi tidak boleh ada hakim yang menolak perkara.
apalagi hanya karena dia tidak menguasai bidang sengketa tersebut.)
Berdasarkan konsekuensi bahwa putusan hakim akan memenangkan salah satu pihak
dan mengalahkan pihak yang lain, maka berdasarkan hukum acara perdata di
Indonesia Hakim wajib memerintahkan para pihak untuk melaksanakan mediasi
(nanti akan dibahas lebih lanjut) untuk mendamaikan para pihak. Jika tidak
dicapai perdamaian maka pemeriksaan perkara akan dilanjutkan. Meskipun
pemeriksaan perkara dilanjutkan kesempatan untuk melakukan perdamaian bagi para
pihak tetap terbuka (dan hakim harus tetap memberikannya meskipun putusan telah
disusun dan siap untuk dibacakan). Jika para pihak sepakat untuk berdamai,
hakim membuat akta perdamaian (acte van daading) yang pada intinya berisi para
pihak harus menaati akta perdamaian tersebut dan tidak dapat mengajukan lagi
perkara tersebut ke pengadilan. Jika perkara yang sama tersebut tetap diajukan
ke pengadilan maka perkara tersebut akan ditolak dengan alasan ne bis in idem
(perkara yang sama tidak boleh diperkarakan 2 kali) karena akta perdamaian
tersebut berkekuatan sama dengan putusan yang final dan mengikat (tidak dapat
diajukan upaya hukum).
c.Arbitrase
Arbitrase adalah cara penyelesaian sengketa yang mirip dengan litigasi, hanya
saja litigasi ini bisa dikatakan sebagai “litigasi swasta” Dimana yang
memeriksa perkara tersebut bukanlah hakim tetapi seorang arbiter. Untuk dapat
menempuh prosesi arbitrase hal pokok yang harus ada adalah “klausula arbitrase”
di dalam perjanjian yang dibuat sebelum timbul sengketa akibat perjanjian
tersebut, atau “Perjanjian Arbitrase” dalam hal sengketa tersebut sudah timbul
namun tidak ada klausula arbitrase dalam perjanjian sebelumnya. Klausula
arbitrase atau perjanjian arbitrase tersebut berisi bahwa para pihak akan
menyelesaikan sengketa melalui arbitrase sehingga menggugurkan kewajiban
pengadilan untuk memeriksa perkara tersebut. Jika perkara tersebut tetap
diajukan ke Pengadilan maka pengadilan wajib menolak karena perkara tersebut sudah
berada di luar kompetensi pengadilan tersebut akibat adanya klausula arbitrase
atau perjanjian arbitrase. Beberapa keunggulan arbitrase dibandingkan litigasi
antara lain:
1. Arbitrase relatif lebih terpercaya karena Arbiter dipilih oleh para pihak
yang bersengketa. Arbiter dipilih oleh para pihak sendiri dan merupakan jabatan
yang tidak boleh dirangkap oleh pejabat peradilan manapun. Dalam hal para pihak
tidak bersepakat dalam menentukan arbiter maka arbiter akan ditunjuk oleh ketua
Pengadilan Negeri. Hal ini berbeda dengan litigasi karena para pihak tidak
dapat memilih hakim yang memeriksa perkara. Calon arbiter yang ditunjuk juga
boleh menolak penunjukan tersebut.
2. Arbiter merupakan orang yang ahli di bidangnya sehingga putusan yang
dihasilkan akan lebih cermat. Dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dinyatakan bahwa salah satu
syarat untuk menjadi arbiter adalah berpengalaman aktif di bidangnya selama 15
tahun. Hal ini tentunya berbeda dengan hakim yang mungkin saja tidak menguasai
bidang yang disengketakan sehingga harus belajar bidang tersebut sebelum
memeriksa perkara.
3. Kepastian Hukum lebih terjamin karena putusan arbitrase bersifat final dan
mengikat para pihak. Pihak yang tidak puas dengan putusan arbitrase tidak dapat
mengajukan upaya hukum. namun putusan tersebut dapat dibatalkan jika terjadi
hal-hal tertentu seperti dinyatakan palsunya bukti-bukti yang dipakai dalam
pemeriksaan setelah putusan tersebut dijatuhkan atau putusan tersebut dibuat
dengan itikad tidak baik dari arbiter.
Sedangkan kelemahannya antara lain:
1. Biaya yang relatif mahal karena honorarium arbiter juga harus ditanggung
para pihak (atau pihak yang kalah)
2. Putusan Arbitrase tidak mempunyai kekuatan eksekutorial sebelum didaftarkan
ke Pengadilan Negeri.
3. Ruang lingkup arbitrase yang terbatas hanya pada sengketa bidang komersial
(perdagangan, ekspor-impor, pasar modal, dan sebagainya)
Sumber :
http://blogqu-hanum.blogspot.com/2011/04/anti-monopoli-dan-persaingan-usaha.html
bab 14
Penyelesaian Sengketa Ekonomi
Pengertian Sengketa
Pengertian sengketa dalam
kamus Bahasa Indonesia, berarti pertentangan atau konflik, Konflik berarti
adanya oposisi atau pertentangan antara orang-orang, kelompok-kelompok, atau
organisasi-organisasi terhadap satu objek permasalahan. Senada dengan itu Winardi
mengemukakan :
Pertentangan atau konflik yang terjadi antara individu-individu atau
kelompok-kelompok yang mempunyai hubungan atau kepentingan yang sama atas suatu
objek kepemilikan, yang menimbulkan akibat hukum antara satu dengan yang lain.
(2007: 1)
Sedangkan menurut Ali
Achmad berpendapat :
Sengketa adalah pertentangan
antara dua pihak atau lebih yang berawal dari persepsi yang berbeda tentang
suatu kepentingan atau hak milik yang dapat menimbulkan akibat hukum bagi
keduanya. (2003: 14)
Senada dengan hal tersebut
diatas Edi Prajoto mengatakan Bahwa :
Sengketa tanah adalah
merupakan konflik antara dua orang atau lebih yang sama mempunyai kepentingan
atas status hak objek tanah antara satu atau beberapa objek tanah yang dapat
mengakibatkan akibat hukum tertentu bagi para pihak. (2006:21)
Dari devenisi diatas maka
dapat dikatakan bahwa sengketa tanah adalah merupakan konflik antara beberapa
pihak yang mempunyai kepentingan yang sama atas bidang-bidang tanah tertentu
yang oleh karena kepentingan tersebut maka dapat menimbulkan akibat hukum.
Dalam bidang pertanahan ada
dikenal sengketa sertifikat ganda dimana pada satu objek tanah diterbitkan dua
sertifikat, dimana hal ini dapat mengakibatkan akibat hukum.
Sengketa sertifikat ganda adalah bentuk kesalahan administratif oleh pihak
Badan Pertanahan Nasional (disingkat BPN) dalam hal melakukan
pendataan/pendaftaran tanah pada satu objek tanah yang mengakibatkan terjadinya
penerbitan sertifikat tanah yang bertindih sebagian atau keseluruhan tanah
milik orang lain.
Penyelesaian
Sengketa Ekonomi
Penyelesaian sengketa secara
damai bertujuan untuk mencegah dan mengindarkan kekerasan atau peperangan dalam
suatu persengketaan antar negara. Menurut pasal 33 ayat 1 (Perekonomian disusun
sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan) Piagam PBB penyelesaian
sengketa dapat ditempuh melalui cara-cara sebagai berikut:
Cara-cara
Penyelesaian
Negosiasi
Negosiasi adalah sebuah
bentuk interaksi sosial saat pihak – pihak yang terlibat berusaha untuk saling
menyelesaikan tujuan yang berbeda dan bertentangan. Menurut kamus Oxford,
negosiasi adalah suatu cara untuk mencapai suatu kesepakatan melalui diskusi
formal.
Negosiasi merupakan suatu
proses saat dua pihak mencapai perjanjian yang dapat memenuhi kepuasan semua
pihak yang berkepentingan dengan elemen-elemen kerjasama dan kompetisi.Termasuk
di dalamnya, tindakan yang dilakukan ketika berkomunikasi, kerjasama atau
memengaruhi orang lain dengan tujuan tertentu
Mediasi
Mediasi adalah proses
penyelesaian sengketa melalui proses perundingan atau mufakat para pihak dengan
dibantu oleh mediator yang tidak memiliki kewenangan
memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian. Ciri utama proses mediasi adalah
perundingan yang esensinya sama dengan proses musyawarah atau konsensus. Sesuai
dengan hakikat perundingan atau musyawarah atau konsensus, maka tidak boleh ada
paksaan untuk menerima atau menolak sesuatu gagasan atau penyelesaian selama
proses mediasi berlangsung. Segala sesuatunya harus memperoleh persetujuan dari
para pihak.
Arbitrase
Arbitrase adalah salah satu
jenis alternatif penyelesaian sengketa dimana para pihak menyerahkan kewenangan
kepada kepada pihak yang netral, yang disebut arbiter, untuk memberikan
putusan.
Perbandingan antara
Perundingan, Arbitrase dan Ligitasi
- Negosiasi
atau perundingan
Negosiasi adalah cara penyelesaian sengketa dimana para pihak yang
bersengketa saling melakukan kompromi untuk menyuarakan kepentingannya.
Dengan cara kompromi tersebut diharapkan akan tercipta win-win solution
dan akan mengakhiri sengketa tersebut secara baik.
- Litigasi
adalah sistem penyelesaian sengketa melalui lembaga peradilan. Sengketa
yang terjadi dan diperiksa melalui jalur litigasi akan diperiksa dan
diputus oleh hakim. Melalui sistem ini tidak mungkin akan dicapai sebuah
win-win solution (solusi yang memperhatikan kedua belah pihak) karena
hakim harus menjatuhkan putusan dimana salah satu pihak akan menjadi pihak
yang menang dan pihak lain menjadi pihak yang kalah.
Kebaikan dari sistem ini
adalah:
1. Ruang lingkup pemeriksaannya yang lebih luas
2. Biaya yang relatif lebih murah
Sedangkan kelemahan dari
sistem ini adalah:
1. Kurangnya kepastian hukum
2. Hakim yang “awam”
- Arbitrase
Arbitrase adalah cara
penyelesaian sengketa yang mirip dengan litigasi, hanya saja litigasi ini bisa
dikatakan sebagai “litigasi swasta” Dimana yang memeriksa perkara tersebut
bukanlah hakim tetapi seorang arbiter. Untuk dapat menempuh prosesi arbitrase
hal pokok yang harus ada adalah “klausula arbitrase” di dalam perjanjian yang
dibuat sebelum timbul sengketa akibat perjanjian tersebut, atau “Perjanjian
Arbitrase” dalam hal sengketa tersebut sudah timbul namun tidak ada klausula
arbitrase dalam perjanjian sebelumnya. Klausula arbitrase atau perjanjian
arbitrase tersebut berisi bahwa para pihak akan menyelesaikan sengketa melalui
arbitrase sehingga menggugurkan kewajiban pengadilan untuk memeriksa perkara
tersebut. Jika perkara tersebut tetap diajukan ke Pengadilan maka pengadilan
wajib menolak karena perkara tersebut sudah berada di luar kompetensi
pengadilan tersebut akibat adanya klausula arbitrase atau perjanjian arbitrase.
Beberapa keunggulan arbitrase
dibandingkan litigasi antara lain:
1. Arbitrase relatif lebih terpercaya karena Arbiter dipilih oleh para pihak yang
bersengketa.
2. Arbiter merupakan orang
yang ahli di bidangnya sehingga putusan yang dihasilkan akan lebih cermat.
3. Kepastian Hukum lebih
terjamin karena putusan arbitrase bersifat final dan mengikat para pihak.
Sedangkan kelemahannya antara
lain:
1. Biaya yang relatif mahal karena honorarium arbiter juga harus ditanggung
para pihak (atau pihak yang kalah)
2. Putusan Arbitrase tidak mempunyai kekuatan eksekutorial sebelum didaftarkan
ke Pengadilan Negeri.
3. Ruang lingkup arbitrase yang terbatas hanya pada sengketa bidang komersial
(perdagangan, ekspor-impor, pasar modal, dan sebagainya)
Sumber :
http://vixionholick.wordpress.com/2011/03/10/pengertian-sengketa/
www.google.com